"Mad. Aku akan pergi ntah untuk berapa lama. Bunda dan ayah yang memintaku ikut pindah namun nenek melarang." Suara Laila melemah seraya duduk dibatuuan besar pinggir sungai.
"Tega sekali Laila kau tinggalkan aku, sapalah lagi kawan ku kala ku sedang bersedih hati?" Jawab Ahmad mendekati Laila
"Sabar lah Mad, aku pasti selalu pulang. Toh aku kekota juga untuk berobat dan menimba ilmu."
"Lama!! Jauh!! Mana mungkin kau ingat denganku ketika kita bertemu kelak."
"Mad. Sahabatku cuma kau ! Percayalah aku segera pulang mad."
"Laila aku sayang padamu. Sahabatku cumalah kau Laila."
"Aku pun begitu Mad, saat SMA nanti aku akan minta untuk bersekolah di kampung ini lagi. Janji."
Ahmad berdiri mengikuti jejak Laila yang saat ini tengah berjalan setengah berlari. Sejak hari pertama mereka saling memberi kabar melalui surat yang dititipkan lewat pos. Benar sekali mereka saling menyayangi. Laila dan Ahmad berteman sejak mereka duduk di bangku Taman kanak-kanak. Hingga terpisah saat mereka kelas 1SMP.
Seiring berjalannya waktu Laila yang selalu meridukan sosok Ahmad kini perlahan hilang dimakan kesibukan sekolahnya. Dia terpilih menjadi wakil ketua Osis di sekolahnya sekarang. Berbeda. Jelas saja dulu selalu ia dipasangkan dengan Ahmad tapi kini dia harus berkerja sama dengan Rio teman baru nya.
"La udah selesai buat tugas?" Tanya Rio yang baru saja datang keruang Osis.
"Udah kenapa mau pakai laptop? Nih ambil aja aku juga harus segera pulang." Jawabnya sambil menyodorkan sebuah laptop hitam dari tangannya.
"Tidak. Aku hanya menanyakan dan berniat mengajakmu makan di kantin depan."
"Oh makasih tapi seperti nya aku harus pulang duluan. Bunda sudah masak dirumah untukku dan ayah."
"Rumah kamu dimana?"
"Perumahan citra marta blog G nomer 12"
"Next time aku yang jemput ya."
"Insyaallah ya aku gak janji bisa berangkat bareng kamu."
-
Sementara di lokasi yang berbeda Ahmad tengah asik dengan turnamen yang diikutinnya. Dia asik digemari para gadis desa. Bukan hanya ganteng tapi dia juga pintar dalam segala hal.
Tak berbeda dengan Laila yang disibukkan dengan segunung aktivitas dan tugas sekolah. Ahmad pun begitu, sesekali ia mengrimi Laila surat yang berisikan kerinduan yang selalu datang.
Teruntuk Laila
Kau ingat Laila dulu setiap senja kita selalu ditepi sungai ini. Kini hanyalah aku dan bayanganmu sendiri. Menikmati deruan angin sore dan indahnya kampung ini.
Laila kapanlah engkau pulang?
Sungguh aku rindu hadirmu. Aku ingin setiap pertandinganku seperti dulu ada kamu.
"Mad, aku pun rindu." Lirihnya, buliran air mata mengalir indah begitu saja dipipinya.
Kini Laila telah mengenakan hijab. Walaupun belum dengan syariat. Tapi tekatnya untuk berhijab tlah bulat. Laila kini duduk di bangku SMA ntah sudah berapa lama Laila tak pulang dan sudah jarang lagi ia mendapat kabar dari Ahmad.
Taman-teman Laila pun kini semakin banyak. Banyak bergaul dan dikenal orang lain baik teman sekolah maupun diluar sekolah. Semakin cantik. Ya Laila semakin cantik dengan hijab yang ia kenakan. Banyak lelaki yang ingin menjadi kekasihnya. Ataupun hanya untuk belajar bersama dirumahnya. Termasuk Rio tak putus asa dengan usaha yang terus ia lakukan untuk mendekati Laila si gadis desa.
"Bukannya aku tak ingin, cuma aku takut. Dulu aku pernah berjanji pada Ahmad sahabatku sejak kecil bahwa SMA ini aku mau pulang dan sekolah di kampung bersama nenekku. Tapi aku tak menepati janji. Dan aju sudah jarang mendapat kabar darinya." Tangis Laila pun kini pecah dipelukan Rina teman sebangkunya.
"La ini bukan mau mu tapi ini sudah jalan yang diberikan oleh Nya." Suara damai Rina mencoba menenangkan Laila
"Mana lagi saat ini aku tengah menjalin hubungan dengan Rio. Apalah kata hati Ahmad jika mengetahui hal ini rin."
"Sudah mari kita sholat. Supaya tenang hatimu."
-
Dua bulan berlalu hubungan Laila dan Rio semakin akrab. Semakin sering berjalan berdua selalu bersama. Bagaikan lem dan perangko. Mereka memadu kasih layaknya remaja yang lain. Bunda Laila tidak mengetahui hal ini apa lagi ayahnya.
Malam itu akhirnya ketahuan jugalah cerita cinta Laila. Bunda ingin marah tetapi apalah daya bunda hanya bisa menangis merangkul Laila sambil berkata.
"Nak jangan engkau dekati maksiat karna dengan begitu kamu membuat Tuhanmu cemburu. Namun apalah daya bunda. Kamu sudah dewasa pelajari lah sendiri. Semoga Laila anak gadis bunda ceoat mendapat hidayah ya nak."
"Bunda memang pacaran dilarang agama kita ya ?"
"Iya sangat Laila. Mau kah dinda kelak tak bertemu dengan ayah bunda?" Timpal ayah Laila
"Jadi Laila harus apa bun? Tapi Laila sudah mulai menyukai nya bun?"
-
Pagi sekali Laila tlah bangun dari tidur malamnya. Berjalan perlahan menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu dengan tertib.
Perlahan gerakan indah dilakukan mulai dari takbir hingga salam. Lantunan ayat suci Al-Qur'an di lafadz kan oleh bibirnya yang indah. Lamat-lamat terdengar suara bunda di ujung ruangan. Terisak menangis. Terburu Laila bangkit menuju suara bunda.
"Mengapa bunda menangis?"
"Ayah Laila."
"Ayah kenapa bunda? Ayah dimana?"
"Ayah sedang ada panggilan keluar sebentar tetapi tengah perjalanan ayah berhenti dan tak sadarkan diri. Sekarang ayah dirumah sakit."
Tanpa melepaskan mukena yang sedang ia kenakan Laila menuju garasi mobil dan menghidupkan mesin mobil. Sementara bunda sibuk menghubungi kerabat yang lain. Air mata Laila tak henti membasahi kain putih yang ia kenakan, tak lama mobil melaju kencang menuju rumah sakit Siloam. Waktu menunjukan pukul 04.15 wib. Lantunan merdu terdengar dari masjid-masjid yang berada di sepanjang jalan.
Seketika mobil terparkir rapi di parkiran rumah sakit. Bergegas bunda dan Laila berlari menuju UGD.
"Sus dimana ayah saya?"
"Siapa namanya dik?"
"Pak Wilyo sus"
Suster pun langsung mengantarkan Laila dan bunda ke kasur tempat Ayah terbaring dan berdaya. Ayah terlalu capek dengan pekerjaannya dan ayah lelah maka darah tinggi ayah kambuh. Begitulah diagnosa dokter. Beruntung ayah cepat di bawa ke rumah sakit.
-
Beberapa bulan keadaan ayah membaik. Dan beberapa bulan juga Laila meninggal kan Rio dengan memberikan satu buku untuk menjadi alasannya. Udah putusin aja karangan Felixciau
Beberapa bulan ini Laila berubah. Pakaian semakin terjaga meski hijab nya masih seperti biasa. Hari-hari berlalu dengan baik, walau terkadang tak sesuai rencana kembali lagi hati Laila pilu saat mengingat tiga lelaki yang ia sayangi ayah, Ahmad dan Rio. Mereka yang menyebabkan Laila kini berubah. Hari terus berganti tiba saat nya kini. Laila menanti kelulusan SMA.
Laila lulus. Ya lulus dengan nilai terbaik. Sore itu juga Laila menuliskan cerita untuk Ahmad. Berlembar-lembar segala suka duka ditumpahkannya dalam kertas itu. Tapi tidak dengan cerita Rio. Lambat-lambat Laila menjauh dari sosok Rio semakin belajar dengan agama. Semakin tentram rasanya kini hari-harinya semakin berwarna meskipun banyak teman-teman yang mencela dari cara berbicara dan cara pandang agama.
-
"Assalamualaikum Laila?" Suara disebrang telpon bersemangat menyebut namanya.
"Waalaikumsalam. Maaf sebelumnya ini siapa?" Tanyanya pelan-pelan
"Aku Ahmad La, masih kah ingat padaku? Saat ini dimana? Bolehkan aku bertandang kerumahmu?"
"Boleh saat ini aku sedang di taman kota, belajar bersama temanku."
"Kebetulan rumahku dekat sekali dengan taman itu. Aku berjalan kesana ya."
-
Telpon mati. Berdegub kenjang hati Laila mendengar nama itu sungguh bahagia. Bertahun Laila tak bertemu dengan pemuda ini. Berulang kalai Laila menyekat air matanya.
Pertemuan sore itu di taman kota. Mereka berdua sambil bercerita , sesekali mereka tertawa dan saling berdiam diri. Banyak yang ahmad tak mengetahui tentang cerita Laila.
Perempuan nan cantik ini dilepasnya dalam keadaan suka duka dan bertemu dalam keadaan suka duka pula. Laila yang canti rupa, berbudi pekerti baik, tutur bahasa yang santun kini ia temukan lagi. Begitu juga sebaliknya dengan Ahmad yang Laila tinggalkan dulu. Jauh lebih baik.
-
Hari terus berganti. Laila diterima di perguruan tinggi negri kesehatan jurusan Farmasi.
Sedang Ahmad diterima menjadi satuan pasukan Polisi di kota itu. Berbulan terpisah hanya sesekali bertemu.
Ayah dan bunda sangat senang ketika keluarga Ahmad datang berkunjung kerumahnya dengan berbagai cerita.
"Ku dengar Ahmad sekarang tlah bekerja di kantor tata kota, benarkah begitu?" Tanya ayah Laila kepada pak saipudin.
"Benar bang. Itulah maksud kedatangan kami. Ingin meminang Laila." Jawabnya sambil menoleh kearah amaknya Ahmad. Ruang tamu menjadi saksi bisu. Ayah dan bunda saling berpandangan bentuk setuju. Ahmad dan Laila pun tiba.
"Ini mereka yang kita tunggu sejak tadi."
"Apak dan amak? Sejak kapan ado disiko? Macam mano kacaro amak manyuruh apak pegi ke rumah Laila?" Suara Ahmad terbata, seraya mendekat dan memeluk sang ibu betapa senang akhirnya pak saipudin kepala desa mau bertandang kerumah warga yang tlah lama hilang. Laila bingung bukan kepalang saling memandang sekitar Ahmad yang terus memeluk ibu dan ayahnya. Bunda dan ayah yang terlihat bahagia.
"Ada apa ini?"
"Begini dinda, marilah duduk sebentar disamping Ayah."
"Nak Laila bersedia kah jika kami jodohkan dengan Ahmad anakku?"
Laila terdiam matanya berkaca-kaca, sang pujaan hati telah didepan mata. Hanya sekali anggukan. Dan memandang bunda disampingnya.
"Alhmdulilah. Jadi kapan kita laksanakan acaranya?" Kini suara amak yang terdengar begitu gembira. Mukanya berseri merah merona. Ya, bukan lagi.
-
Sejak perjodohan dua minggu yang lalu kini Ahmad pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Laila bingung bukan kepalang. Rasa sakit yang dideritanya kian menyerang.
Semakin hari Laila semakin cantik. Bukan, parasnya mengikuti perilakunya. Laila semakin taat. Takut jika ajal semakin dekat.
"Jika malam ini adalah malam terakhirku? Apa yang harus aku siapkan?" Suaranya begitu pelan. Bayangannya yang cantik berada di depan matanya. Bening. Sebening kaca . Kini ia sibuk menari-nari kecil didepan cermin kamarnya. Tiba-tiba handphone nya berdering, tanda pesan singkat masuk.
Assalamualaikum Laila , apa kabarmu? Maafkan aku yang menghilang beberapa hari ini. Bukan maksudku pergi darimu. Aku hanya ingin menangkan fikiran sembari memantaskan diri denganmu.
"Hmm apa aku kurang pantas untuk menjadi seorang istri?" Lama Laila termenung didalam bilik. Sakit yang ia derita menggerogoti tubuhnya. Pelan-pelan ia membuka hijab nya yang terjulur panjang. Rambutnya kian rontok. Tipis sekali.
-
Pagi ini bunda menyiapkan sarapan, lain dengan hari biasanya. Laila yang menyiapkan namun kini ia sedang jatuh sakit. Pesan yang disampaikan melalu SMS malam itu belum sempat ia balas.
"Laila sakit apa nak? Amak sengaja datang menjenguk engkau. Mengapa bubur mu tak dimakan? Amak suapkan ya nak."
"Hanya demam mak, tak apa terimakasih amak tlah sempat menjenguk."
"Sebentar lagi apak kau datang sama Ahmad. Makan lah dulu . Rindu rupanya?"
"Laila kenyang mak. Rindu pada siapa yang amak maksud?"
"Pada anakku lah, ya kan?" Amak sengaja membuat tertawa melihat kondisi Laila yang semakin parah.
Bilik yang begitu kecil membuat orang lain tak bisa masuk selain amak dan bunda. Semua tersusun rapi. Melihat keadaan Laila yang memburuk Ahmad meneteskan air matanya. Selama ini perempuan yang ia cintai tak pernah bercerita jika memiliki rasa sakit yang amat perih.
Hari demi hari Laila membaik. Sholat lima waktu tak ia tinggalkan meski pun hanya tertidur. Kabar bahagia datang menghampiri hidup nya. Dua hari lagi ia akan menjalankan ijab kabul dan resepsi sesuai syariat islam.
Namun gejolak hati begitu takut. Merasa ajalnya semakin dekat. Rumah tlah di penuhi para tamu undangan pengajian sebelum hari pernikahan.
Laila yang menggunakan baju serba putih tampak sangat menawan. Tak banyak polesan hanya air wudhu menjadi lapisan . Dzikir menjadi lipstik, dan hijab terjulur panjang menjadi mahkota.
Selang beberapa jam rumah kembali lenga sesekali ada tetangga yang bertandang mengucap selamat padanya.
"Bun, bagaimana kalau seandainya umur Laila tak lama lagi?"
"Astaghfirullah apalah bahasamu ini nak. Pamalik !"
"Heheh, bunda Laila cantik memakai gaun ini?"
"Apa maksudmu Laila?! Jangan sesekali berkata seperti itu lagi bunda akan marah sekali."
"Baiklah bunda."
Suara Laila melemah bandannya lunglai. Jatuh pingsan.
-
Malam ini tepat malam memakai inai. Nenek yang datang dari kampung menggilingkan daun inai untuk di pasangkan di kuku Laila.
Laila hanya dikamar. Duduk di depan cermin. Jendala terbuka pintu bilik tertutup rapat tanpa di kunci. Berderai air mata. Belum melapas kain putih panjangnya.
"Setahun yang lalu engkau hadiahkan aku mukenah ini mad." Katanya sambil tersenyum didepan kaca. Bulir bening merajalela membasahi kain putihnya.
-•-
Teruntuk Ahmad.
Assalamualaikum, mad. Sebelumnya maafkan aku. Aku menulis ini tepat pada pukul 23:23 cantik bukan pukul jam nya?
Mad, aku sungguh mencintaimu karnaNya. Bertahun kita terpisah dan kembali dipertemukan. Dalam keadaan yang sama olehNya.
Mad, aku takut aku tak pantas untuk kau nikahi. Penyakitku yang sejak lama mengidap di tubuhku kian hari kian menyiksa. Rambut yang semakin rontok. Suara yang terkadang hilang. Tubuh yang lemah dan kadang jatuh pingsan.
Mad, aku takut umurku tak lama lagi. Mungkin setelah aku menulis ini aku tak bangun lagi dari tidurku.
Mad, jika ruh ku tlah pergi dari raga. Ku persilahkan engkau untuk pergi mencari bidadari surga. Jangan tangisi aku tapi do'akan lah aku.
Mad, aku yang engkau kenal baik ini selama jauh darimu. Sudah pernah menjalin hubungan kasih dengan yang lain maafkan aku mad. Aku bukan lah pemuka agama.
Mad, aku takut jika kelak aku tak dapat lagi mengukir senyum di bibir bunda, ayah , amak, apak dan engkau. Tapi aku yakin mad engkau lelaki baik. Pasti mendapat yang baik.
Mad, aku lelah mungkin sudah saat nya untuk aku tidur.
Dari: Laila
-
00:00
Laila tertidur mengenakan mukenah pemberian dari Ahmad. Pulas sekali. Bising diluar bilik tak dihiraukan nya. Suara sepatu penghias dekor rumah tak ubahnya membuat ia terjaga dari tidurnya.
"Cantik sekali yaAllah anakku ini." Bunda menatap wajah Laila dalam begitu pekat. Bola matanya, hidungnya yang tidak terlalu mancung. Bibirnya yang selalu melantunkan ayat-ayat suci. Nembah pesona bagi setiap insan. Bunda meninggalkan Laila dikamar. Dengan tenang. Kembali ke aktivitas bersama para tim penghias.
-
02.45
Rumah kini lengah. Namun ayah tetap terjaga. Laila terbangun dari tidurnya. Segera ia tunaikan sholat malam nya. Berjalan keluar bilik ingin mengambil wudhu.
"Laila sudah bangun nak?" Tanya ayah dari ruang tengah.
"Sudah yah." Jawabnya singkat. Kini ayah mengikut Laila. Dilihatnya anak semata wayangnya mengambil wudhu dengan tertib. Sangat anggun.
"Mari sholat yah." Katanya sambil meninggalkan ayah didepan pancuran. Seakan dedaunan menari. Melihat wajah cerah Laila. Tidak sakit lagi.
-
03:05
Laila selesai sholat dan berdo'a . Kembali tidur. Sebelumnnya ia letakkan surat yang ia buat tadi berada lebih dekat dari jarak tidurnya.
Kini akhirnya Laila tertidur pulas. Dengan senyum yang mengembang dibibir. Masih menggunakan mukenah pemberian Ahmad.
-
03:15
"Laila bangun nak. Bersiap sholat dan memakai make up." Suara bunda diluar bilik .
Tak ada jawaban dari Laila. Bunda memasuki kamarnya. Kini yang bunda lihat hanya jasatnya Laila. Bandanya terbujur kaku. Sekujur tubuhnya mendingin. Bibirnya kerin. Di dapati surat untuk Ahmad.
"Lailaaaaaaaaa!!!!!! Bangun nak banguuun jangan tinggalkan bundaaa dan ayah!!!" Tangis bunda pecah. Ayah seluruh orang yang berada diluar bilik berlari menuju sumber suara dari bunda.
"Bunda ada apa?"
"Yah.. Laila meninggalkan kita! Dia tidur dan tak bangun lagi."
"Lailaaaaaaa maafkan ayah naaakkkk" semua yang berada didalam rumah menangis melapas kepergian Laila. Tak lama Ahmad dan keluarga datang.
"Bunda ayah !" Suara Ahmad dari luar.
"Ada surat untukmu." Ayah menjulurkan surat yang ditulis Laila sebelum ia pergi untuk selamanya. Air mata pun tak mampu untuk ditahan tangisnya menjadi-jadi.
"Lailaaaa pagi ini aku harus menjadi suami mu!! Laila banguuun sayang!! Banguun!!"
-
Kini Laila pergi dan tak kembali. Laila mengidap penyakit kanker paru-paru. Akibat penyakitnya yang tak optimal diobati.
Hanya ada jejak Laila
-
Cakep ide ceritanya
BalasHapus