Aroma tanah yang dibasahi oleh air masuk melalui lubang hidungku . Ku hirup dalam-dalam. Bauk tanah itu sungguh menggoda .
15 tahun yang lalu aku masih bisa bermain sepuasnya dengan hujan. Tak jarang saat itu aku sering demam karna kedinginan.
Ntah apa yang membuatku bahagia ketika hujan turun dengan derasnya. Ritikan airnya menyentuh atap rumah yang menjadi melodi indah untuk penikmat hujan.
Tatkala hujan aku selalu berlarian kesana kemari. Sambil diteriaki oleh mbah putriku.
"Cah ayu!! Wes toh mainan hujan ntar sakit loh." Mbahku pun berteriak seraya mengejarku menggunakan payung hadiah dari kopi.
"Iya mbah. Ini udah mau selesai. Sebentar lagii aja ya mbah." Suara ku tak kalah besar . Aku terus berlari sesekali aku terjatuh dan aku tertawa bahagia.
"Udah nduk udah."
"Sabar mbah, aku baik-baik saja"
Mata ku yang tak begitu besar, cenderung sipit. Kulit yang putih dan rambut yang bergelombang. Kini sedang disirami air hangat kuku oleh mbah putriku.
Mbah yang selalu menyayangiku. Menuruti semua inginku.
"Bintang, lain kali jangan mandi hujan terus ya nduk."
"Iya mbah."
Kemudian aku berlari menuju kamar, menari didepan cermin.
Dres yang bercorak bunga-bunga berwarna hijau toska menyelimuti tubuhku yang mungil ini.
Mbah putri sangat menjagaku. Baik dirumah maupun di taman kanak-kanak. Meski jarak TK dan rumah tidak begitu jauh. Namun mbah memesankan mobil antar jemput untukku berangkat dan pulang kerumah.
Aku cucung yang ke 15. Mungkin. Aku juga lupa. Aku yang paling kecil dan paling dimanja. Tetapi aku adalah anak pertama dari ibu dan bapakku.
-
"Hmm begitu banyak kenangan. Andai waktu bisa diputar." Suaraku gemetar dan akhirnya aku bicara sendiri. Potret yang sedari tadi ku peluk , kini tlah basah banjir akan air mata.
Sore semakin dikejar waktu. Hujan semakin deras membasahi permukiman warga.
Aku pun masih terdiam di belakang balkon rumahku. Termenung mencoba mengingat rekaman perjalanan hidup selama ini.
"Bi!!! Lu dimana, penting ada yang mau aku bicarakan!" Suara Tina memecahkan lamunanku.
"Apa Tina! Gue di balkon sini aja." Jawabku tanpa menampakna mukaku.
"Lu tau gak? Ogif nanyain elu terus sama gue! Bosan elu kenapa sih?"
"Kok gue?"
-
Percakapan terhenti . Saat hujan mulai mereda. Pelangi menghiasi senja sore ini. Lengkap keindahan dunia yang sore ini yang ku saksikan.
Ku hempaskan tubuh ini keatas kasur. Mencoba menenangkan diri. Ini rindu yang tak bisa aku sembunyikan namun terlalu sulit untuk ku ungkapkan. Beberapa kali aku mencari posisi nyaman. Kamarku yang tak begitu luas. Kali ini tempat yang kupilih adalah jendela kamar. Sesekali angin meniupkan hijabku yang menjuntai. Sejuknya menyentuh pipiku. Mataku berair. Bibirku gemetar.
Tak lama. Suara kodok saling bersautan, merayu meminya hujan pada sang kuasa.
Benar saja beberapa menit kemudian . Hujan turun dengan damai lagi. Menyisakan kesedihan.
-
Pagi ini ku dapati beberapa pesan singkat yang menunjukan jadwal kuliah. Dan. Ini pesat siapa?
Pesan pertama.
"Bi aku kangen. Tak bisakah sekali saja kau angkat telpon ku?"
Pesan kedua.
"Bi ku mohon angkat telpon ku. Maafkan aku bi."
Pesan ketiga.
"Baiklah kali ini aku menyerah sengan jumlah panggilan keluar untukmu melebihi kuota maksimal. 25x ku fikir kau akan membaca pesan ini"
Lambat aku berjalan teroyoh ke kamar mandi. Jam menunjukan pukul 04.45. Bergegas mandi dan bersiap sholat subuh.
"Bi. Jadi bagaimana?" Tanya ayah memulai pembicaraan setelah sholat selesai.
"Gimana apanya yah?" Tanyaku sambil menyipitkan mata pada ayah.
"Umur mun semakin dewasa. Apa sudah ada lelaki yang memikat hatimu. Tunjukan pada ayah."
"Belum ada yah. Nanti kalo ada juga pasti ajeng kasih tau yah."
*bersambung*
#nulisrandom#belajarmenulis
cucung ke 15? cucung itu artinya cucu kak?
BalasHapus