Aku pun tak tahu harus bagaimana memulai perbincangan kali ini, apakah harus ku tanyakan bagaimana kabarnya? Bodoh. Pertanyaann yang klise. Ntah dari mana ia dapatkan nomer ponsel ku yang baru. Ku rasa teman-temannya tak ada yang punya satupun.
Mungkin ini alasan mengapa bulan ini aku lebih memilih untuk berdiam. Memulai hal baru dengan tragedi yang lama. Peristiwa dimana saat kita jumpa.
"Bi, kamu gak ikut tes tahun ini?" Tanya putri dengan menggotong ransel yang ku fikir isinya adalah buku. Ternyata batu.
"Tidak. Terlalu banyak praktek yang tak bisa ku tinggalkan." Jawabku sambil tersenyum memastikan mataku tak berkaca-kaca.
Sore ini sama persis seperti 3 tahun yang lalu. Dimana aku masih terus berlatih. Memukul bola. Memblok lapangan. Smash yang pas dan tegas. Melompat tinggi.
Atau mungkin kebiasan ku yang suka membanting lawan saat kenaikan sabuk. Bahkan berlari yang tak henti sering ku lakukan di gedung ini.
Dulu aku seorang yang tomboy. Mengikuti banyak kegiatan. Baik sastra mau pun olahraga. Badanku kekar. Membentuk otot di lengan kanan dan kiri. Kaki yang tak begitu menarik. Kulit yang tak begitu putih. Eksotis.
Sejak di libatkan dengan penyakit Sinusitis akhirnya aku tak lagi melakukan renang rutin di kolam renang tempat mula aku melabuhkan cinta.
Ku rasa pada pandangan pertama. Hari demi hari ku jalani. Berapa kali mengikuti tes polwan. Selalu gugur ada saja. Kali ini mungkin berlaku semboyan jangan berhenti sebelum menang.
"Hallo bisa bicara dengan bintang?" Suara di ujung telpon yang sedari tadi mencoba menghubungiku.
"Iya saya sendiri dengan siapa dan ada perlu apa ya?" Jawab ku sedikit ragu.
"Apa kabar? Aku kangen kamu makanya aku coba telpon tetapi tidak kamu angkat."
"Loh kamu siapa?" Sambil mengingat sesuatu yang seakan pernah terjadi.
"Aku Ogif."
Ah sementara aku masih saja terduduk di sudut kamar. Mencoba mengingat yang dulu pernah ada. Tanpa susah payah. Rekaman itu terputar lagi.
2013 tahun lalu. Aku masih hapal kata-kata yang selalu di ucapnya untuk menemani tidur malamku.
Mendekap hangat sekujur tubuhku. Namun sayang semua melayang.
Tunggu dulu. Kurasa tidak. Aku lah yang selalu merayu agar keadaan baik-baik saja. Pelukku lah yang selalu mencoba menenangkannya.
Bukan. Dia hanya sahabat karibku. Sahabat seperjuangan untuk menggapai impian.
Kali ini aku bangkit. Menerka-nerka yang ada. Andai bangkit dari kenyataan semudah bangkit dari jarak dudukku. Semudah itu akan ku lupakan semua kejadian yang membuat hatiku pilu.
Dua tahun lamanya. Mengapa baru mengabariku sekarang?
Sejenak aku mengenang hadir nya yang tak seberapa itu. Penting bagiku namun tidak untuknya. Aku takut hal yang sama akan terjadi lagi. Benar saja tak lama ku dapati handphone ini berbunyi. Tanda pesan dari Ogif.
Basi ku rasa. Rangkaian kata merajut rindu yang ada. Namun kini ku tiadakan.
Selalu ada surat rindu yang ku tuliskan tentangnya. Entah dari mana jari ini menilisnya.
Semua surat itu terkumpul rapi dalam satu kotak yang mungkin nanti akan aku bakar.
Surat rindu yang selalu ku buat namun tak selalu aku kirimkan.
Malam terus berlalu hingga selarut ini pun enggan sekali mata untuk terpejam. Entah karna memang belum kantuk atau karna dia yang tiba-tiba ada dalam benakku?
Aku berjalan keluar kamar mecoba mencari sisa makanan untuk menganjal perutku agar tetidur. Sial. Kali ini ku dapati selembar foto yang jatuh dari dalam buku bersampul merah jambi. Gambar dua muda mudi sedang tersenyum. Gambar yang begitu menarik.
-
"Bi, ayoklah foto berdua. Sekali aja." Rayu nya saat itu
"Gi, aku lagi badmood. Tolonglah aku capek." Jawab ku dengan sedikit menaiki tangga nada suaraku.
"Bi, liat aku. Aku sayang kamu. Dia hanya masa lalu ku. Ku mohon Bi."
"Gi. Harus berapa kali aku bilang? Atau sekarang kamu turun dan pulang bareng satuan kamu aja."
Akhirnya terjadilah gambar ini. Sekuat tenaga dia meyakini ku. Ku fikir perkataannya benar. Namun salah sore itu juga selepas mengantarkannya kembali ke asrama. Wanita itu kembali menghubuginya. Dengan lihai pun ia membalas segala pesan singkat melalui berbagai media.
Aku yang hanya wanita biasa. Merasakan betapa hancurnya hati ku. Lukaku belum seutuhnya sembuh. Belakangan kekasih ku meninggalkan cinta ini. Menghempaskannya dalam dengan wanita yang saat itu ia nikahi. Ntah dengan alasan apa ia memutuskan hubungan sepihak.
Kali ini lagi-lagi hal bodoh yang sama ku lakukan. Bedanya dengan cerita yang sedikit berbeda dan orang yang tak sama.
Tak sadar air mataku menetes di ujung pipi. Membasahi permukaan muka yang baru saja aku bersihkan dari noda make up.
Gambar yang masih ku pegang erat ditangan kanan ini membatalkan niatku untuk membuat makan
kali ini ku tulis surat hanya sekedar untuk menghilangkan duka.
"Berapa banyak surat yang engkau buat dan tak pernah kau kirim Bi?"
"Ntahlah aku tak tahu." Jawabnya sambil menyekat air mata.
-bersambung-