Kamis, 17 September 2015

Jarak Pandang Semakin Dekat

00.12 Posted by Unknown No comments
Pukul 22.09 Wib. Aku masih duduk berdiam diri selepas pulang dari rumah Irani dan Ulia. Sibuk mengurusi kekecewaan kepada diriku sendiri. Menghadap ke meja makan, mengupayakan untuk tidak mengingatmu bahkan menerawang keberadaanmu. Ya kamu. 
Selepas sholat maghrib tadi seseorang datang mengetuk dan memberikan salam. Adik perempuanku yang membukakan pintu. Lantas lekas memanggilku keluar kamar.
"Aih bang. Udah jadi?" Tanyaku.
"Sudah, dan ini. Eh yang ini." Katanya sambil menyodorkan sesuatu berbalut kertas putih. 
"Makasih ya bang. Tapi bener yang ini?"
"Iya, bener yang itu. Karna ini tandanya."
"Oke makasih lagi kalo gitu."
"Semoga suka."
"Aamiin. Semoga bang"
"Buat pacarkan?"
"Bukan. Kawan"
"Baik, abang pulang dulu ya."
Bang Ayit pergi dan berlalu. Aku masih di depan pintu memandangi bingkasan yang diberikan nya padaku. Aku masih ragu, ku rasa di simpan saja. Jangan diberikan, malu. Aku kembali duduk diposisi semulaku sebelum aku pergi meninggalkan rumah untuk keluar membeli obat dan kerumah rani. 
Dipojok kasur, jari-jemariku masih terus asik berjalan diatas layar handphone ku. Membaca sesekali aku tersenyum. Teringat keakrabanku dulu bersamanya. 
Suasana kamar hening. Karna cuma ada aku disana yang masih betah setangah duduk dipojok kasur. Bbm, Line, WA terus silih berganti memasuki inbox. Tak ku hiraukan , karna ku rasa. Aku harus tuntas membaca sesi yang ini. Tak lama khayalanku terpecahkan karna lantangnya suara ibu.
"Jeng! Jam berapa lagi mau keluar." Kali ini badan ibu pun ikut berbalik arah memandangiku.
"Iya . Sekarang." Aku segera memakai sweater ku dan hijab. Cepat mengambil kunci motor. Eh yaps sebelum itu aku membalas di BBM Group bahwa aku akan kerumah Putri. Pas. Aku tiba dirumah Putri. Saat itu adzan Isya' . Oke baiklah aku tunggu selesai adzan dan kemudia pergi ke apotek. Sepanjang jalan aku bercerita tentang kenapa aku sedih dan ingin menangis tetapi gak jadi. 
"Itu biasa. Puput juga ngerasain hal yang begitu." Katanya sambil memegang pundakku.
"Tapi Put, dan ini sakit sekali. Ku rasa aku adalah pecundang. Kenapa sekarang jadi susah sekali."
"Sabar. Mungkin nanti ada waktunya."
"Mozaiknya udah jadi."
"Terus?"
"Taruh dirumah Puput aja ya."
"Ha? Iya deh"

-
Obat sudah ku dapat, begitu juga dengan keripik singkong sudah ku beli. Jalanan Jambi saat ini kabut sekali. Tidak, sedikit berkurang dari yang biasanya. Namun tetap sesak. Kali ini sesak di hati bukan di paru .
Jarak apotek dan rumahku tak begitu jauh. Pun dengan Swalayan. Kira-kira 6 menit sampai. 
Sepanjang jalan aku masih terus berfikir apa yang harusnya aku lakukan. Tidak. Harusnya aku sudah tau apa. Menjauh, pergi dan hilang tak kembali. Bagus. Dan itulah caranya. Ya benar sekali. Tapi aku tak bisa! Sial.

Sesampainya dirumah. Aku pun izin dengan ibu untuk pergi sebentar. 
"Bu, mbak pergi sebentar. Kerumah Irani." Kataku sambil bergegas mengambil buku agenda dan bingkisan putih itu. 
"Jangan malem-malem pulangnya. Kenapa harus malam sih?"
Aku terus berlalu .
"Bu pergi Assalamualaikum." Tak ku dengar jawaban dari ibu dan pasti aku tau ibu tak menjawab atau dalam hati? Ntahlah ku rasa tak begitu penting dan aku harus pergi agar aku tak begitu terfikir atas apa yang membuat aku kecewa. Semakin ku fikir aku semakin merasa bodoh. 
Biasanya setiap jalan celotehan ku terus kencang sekencang motor melaju. Dan Putri selalu mendengarkan. Dan aku bahagia. Selalu terjadi seperti ini. Malam menunjukan pukul 19.50 Wib. 
"Aku rasa bodoh saja jika aku terus seperti ini."
"Udah nanti ini mbk kirim aja. Dan coba mbak minta penjelasannya."
"Put, mbak tau dan itu semua gara-gara dia."
"Sssttt jangan gitu. Coba aja mbak."
"Gaklah , udah cukup. Biarin aja aaaa nanti baper."
Tak lama kemudia motorku tepat terparkir didepan pintu rumah Ulia dan Irani. Berpas-pasan dengan Pudil,Agung dan Anggun. Pas banget. Titip kerak telor dan aku mulai masuk ke dalam rumah. Kontrakan. Yaps bescamp Lemon. Gengs. Hahaha . Satu demi satu dibahas. Akhirnya bingkisan putih itu dibuka. Dan mereka bilang bagus.
Oke mungkin akan aku kirim. Dalam artian aku harus konsisten dengan prinsip awalku.
Asik makan, cerita dan terawa. Malam ini. Aku pulang pukul . 21.58 Wib. Rumah di kunci dan aku takut. Pintu tak dibuka kan. Ternyata salah. Pintu dibuka. Hore! Selamat. 👏
-
Aku masih duduk disini. Dibangku ini. Masih bercerita tentang apa yang harusnya tak aku ceritakan . Di temani suara gemercik keran di kamar mandi yang terdengar sampai keluar. Sesekali nyanyian nyamuk yang menari di dekat telingaku. Hah. 
Wajahnya beberapa hari ini selalu mucul. Seolah-olah mengisyaratkan bahwa aku tidak harus benar-benar melupakannya. Ntahlah tapi nyatanya begitu. Sore lalu dan sebelumnya serta sebelumnya lagi. Seketika aku mengaji. Wajah itu muncul. Kenapa lagi?? Ah kamu itu hanya angan bagiku. Tidak untuk kenyataan dan aku tak mau itu. Kau tau betapa sakitnya aku menahan rindu? Tidak. Karna kau tidak merindukanku. Sudah cukup ku rasa aku terlalu lebay. Entahlah. Malam ini enteng sekali aku mengetik dan membiarkan otak ku berimajinasi tentang sketsa wajah dan postrur tubuhmu. 
Sesekali terbayang manisnya senyumanmu.
Aku tahu agama kita tidak membenarkan itu yang namanua Pacaran. Tidak . Aku tak ingin kau jadi pacarku. Tapi imamku. Harusnya kau tahu itu. Aku tak benar-benar melupakanmu. 
Aku sibuk menggaruki jempolku yang ku biarkan nyamuk menghisap darahku. Bagaikan aku membiarkan diri ini terhipnotis oleh pesonamu. Ntah mengapa aku hanya ingin kau tahu bahwa aku disini selalu menunggumu.
Aku masih diam. Dan tiba-tiba.
"Jeng!" Suara ibu
"Iya bu?" Sahutku
"Ngapain?"
"Nulis."
"Bantu ibu sebentar"
"Iya"
Aku segara meletakkan handphone ku di atas kursi dan mendatangi ibu dengan segala keperluannya.
Aku melanjutkan tulisannku. Jujur saja dulu aku juga pernah jatuh cinta. Tapi tidak seperti ini. Aku gampang untuk bilang kalo aku suka dan aku tak pernah memikirkan apa resiko ke depan nanti. Tapi sekarang? Tidak. Untuk menyapa saja aku takut. Apalagi berbicara seperti itu. 
Jambi di landa kabut asap dan aku dilanda kabut rindu. Kurasa hal wajar karna cinta itu Fitrah bukan? Aku takkan pernah bilang padamu bahwa aku mencintaimu. Tapi aku akan selalu datangi si pemilik hati. Akan ku rayu Dia agar nanti bisa disandingkan denganmu. 

Merpati #1
Kau adalah apa yang aku inginkan. Dan ku mohon kau tahu aku sedang manantikan kedatangamu. Di singgasanaku.
Aku tak ingin apa yang sedang aku fikirkan terjadi kemudian , kau pergi hilang lalu tak kembali.
Ntahlah..
Yang pasti aku akan ikhlas..
Karna ku tahu kau pasti untukku. Atau mungkin untuk dia yang nanti akan kau temui walinya.
Ku cukupkan sampai disini. 
Aku adalah perempuan yang menantimu. Ntah di dunia saja atau nanti Disana di tempatNya.

#Jambi,16 september 2015

0 komentar:

Posting Komentar